Sering banget kita melihat fenomena orang-orang di sekitar yang memiliki kecenderungan seneng banget sama ide pemimpin besar yang galak, berani dan bisa mengatur hidup mereka. Kenapa sih seneng banget diatur-atur, tinggal ikut apa kata pimpinan aja?
Well, kalau mau berkaca sama sejarah sih, dari ratusan bahkan ribuan tahun lalu emang banyak orang yang beranggapan bahwa pemimpin itu semacam mesias, satrio piningit, ratu adil yang turun dari langit untuk menyelesaikan masalah-masalah di dunia. Hal inilah yang selalu ada di kesadaran kolektif banyak orang.
Padahal ya, kalau mau inget-inget lagi, sejarah juga yang memperlihatkan bahwa orang yang digadang-gadang sebagai pemimpin besar itu seringkali juga yang malahan jadi penghancur peradaban.
Inget Hitler? Napoleon? Mussolini? Sadam Hussein? Stalin? Kim Jong Il? Mereka adalah contoh kecil dari sederet pemimpin yang tadinya ditasbihkan sebagai pemimpin besar. Mereka awalnya diharapkan dapat memberikan perubahan, namun malah berakhir menjadi kekecewaan.
Tapi saat orang-orang sedunia udah mulai move on dari harapan menanti ‘pemimpin besar penyelamat bangsa’, dan mulai realistis, (kebanyakan) orang Indonesia ternyata malah masih terjebak dalam ilusi tersebut. Kenapa sih ih? Kayaknya gak bisa banget gitu nerima pemimpin yang kayak tetangga sebelah doang saking biasanya, yang gak punya darah biru, yang gak punya imej ‘galak tegas dengan suara menggelegar membangkitkan bulu roma’.
Kalo kita boleh sok tau dan mengkaitkan dengan salah satu teori psikologi perkembangan klasik dari Bronffenbrenner, ada nih yang namanya Ecological System Theory, yang bilang kalau perkembangan kepribadian manusia itu dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Teori ini membagi lingkungan menjadi 5 sistem yaitu:
1. Microsystem
Ini adalah lingkaran lingkungan pertama yang berinteraksi paling langsung dengan individu, sehingga bisa dibilang memiliki efek yang paling penting dalam perkembangan kepribadiannya. Contohnya adalah keluarga, sekolah, institusi agama, tetangga sekitar dan teman-teman sepermainan.
2. Mesosytem
Berikutnya adalah Mesosystem yang merupakan interkoneksi antara lingkungan-lingkungan yang terdapat dalam Microsystem. Contohnya, interaksi antara sekolah dengan keluarga, hubungan antara teman-teman dengan keluarga individu.
3. Exosystem
Adalah sistem yang merupakan sebuah situasi sosial dimana individu tidak terlalu berinteraksi secara langsung, contohnya, pengalaman si individu atau orang tuanya di rumah bisa jadi dipengaruhi oleh pengalaman orang tuanya di tempat kerja. Atau misalnya, ibunya adalah wanita karir yang harus sering-sering tugas keluar kota, terus jadi drama sama bapaknya, sehingga mempengaruhi interaksi dengan si individu.
4. Macrosystem
Konteks budaya tempat si individu ini tinggal. Termasuk di dalamnya adalah negara tempat dia tinggal, status sosialekonomi, kemiskinan, etnis. Termasuk di dalamnya adalah lingkaran-lingkaran yang ada sebelumnya, guru, sekolah, orang tua, keluarga, teman-teman dan segala interaksi yang terjadi di dalamnya. Individu, orang tuanya, sekolahnya dan tempat kerja orang tuanya, adalah bagian dari konteks budaya secara luas.
Anggota dari sebuah kelompok budaya memiliki kesamaan identitas, warisan budaya, dan nilai kehidupan. Sistem ini juga dinamis yang bisa berubah seiring waktu, karena setiap generasi bisa merubah Macrosytem. Makanya ada yang namanya Generasi Y, Generasi X, Baby Boomers dan apalah itu banyak lagi.
Anggota dari sebuah kelompok budaya memiliki kesamaan identitas, warisan budaya, dan nilai kehidupan. Sistem ini juga dinamis yang bisa berubah seiring waktu, karena setiap generasi bisa merubah Macrosytem. Makanya ada yang namanya Generasi Y, Generasi X, Baby Boomers dan apalah itu banyak lagi.
5. Chronosystem
Pola keadaan lingkungan sekitar dan perubahan transisional dalam hidup, serta situasi sosiohistoris.
Selain hal-hal diatas yang juga perlu diperhatikan adalah kondisi biologis si Individu, kayak jenis kelamin, umur dan kesehatan dia.
Nah, jadi bisa disimpulkan kalau perkembangan kepribadian seseorang itu dipengaruhi oleh interaksi sosial dia dengan lingkungan, dengan keluarga, situasi politik dan negara tempat dia berkembang, dan interaksi lintas generasi. Kalo kita liat lagi sejarah dan politik Indonesia dari waktu ke waktu, bisa dibilang posisi para individu yang kemudian secara kolektif kita sebut sebagai rakyat, somehow selalu berada dalam posisi tidak berdaya dan perlu diselamatkan oleh para pemimpin besar.
Dari mulai berada dalam kekuasaan mutlak raja dan sultan di jaman kerajaan, kemudian dijajah oleh bangsa asing, kemudian somehow (di)merdeka(kan) oleh pemimpin besar revolusi yang juga mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup, yang kemudian malah menjadi tiran yang korup suka dansa dan pesta dan memiliki istri dimana-mana, sehingga banyak tumpah darah pemberontakan nyaris perang saudara di tiap daerah. Rakyat kembali nelangsa, lalu munculah Supersemar yang menjadi perpindahan kekuasaan ke jenderal kharismatik yang mau menegakan kembali Pancasila, memberikan harapan Indonesia dalam orde baru yang berarti percepatan pembangunan setiap lima tahun, beras murah dan tidak ada lagi pemberontakan di tiap daerah. Lalu, lagi-lagi ternyata si jenderal jadi terlalu serakah dan terlalu sayang anak, dan lupa kalau Indonesia bukan milik dia pribadi. 32 tahun rakyat kenyang makan beras murah tapi tetap miskin ide dan memiliki mental pasrah dan gak bisa berbuat apa-apa karena pemerintahan tiran yang tidak ragu menghilangkan nyawa orang. Baru deh kemudian, Reformasi. *ngos ngosan ambil minum*
Bayangkan berapa lama rakyat Indonesia dipaksa atau terpaksa patuh dengan otoritas. Akhirnya ya gitu jadinya, lebih seneng nurut ke pemimpinnya dan pemerintah daripada majuin diri sendiri. Ketika mereka merasa selama era reformasi ini gak ada perubahan berarti ke kehidupan mereka, mulai lagi deh muncul ilusi dan harapan akan pemimpin besar penyelamat bangsa muncul kembali.
Instead of berpikir untuk memajukan negara ini bersama-sama, mereka malah ngarep ada pemimpin titisan panglima besar dari masa lalu yang bisa membawa perubahan. Udah keburu males dan gak kapok-kapok gitu loh kesannya. Kayak terlalu cepat lupa, atau emang pada gak suka baca sejarah aja? Jerman aja kapok dan gak mau lagi kena tipu tipu pemimpin ber-aura grande cenderung megalomania, di sini malah dipuja-puja. Huft.
Sumber:
- http://malesbanget.com/2014/07/kenapa-banyak-orang-indonesia-yang-merasa-rendah-diri/
- “Pemimpin itu ditinggikan seranting, didahulukan selangkah (pepatah minangkabau)”, Hamdi Muluk, Kompas, 29 Juni 2014.
- Brofenbrenner, U. (1994). Ecological models of human development. In International Encylopedia Of Education, Vol 3, 2nd. Ed. Oxford : Elsevier.
.