Menyakiti perasaan orang lain tentu bukan hal yang diinginkan oleh siapapun. Luka yang ditimbulkan dari rasa tersinggung sering lebih sulit disembuhkan bila dibandingkan dengan cedera fisik. Sayangnya, tindakan menyakiti perasaan orang itu kerap kita lakukan tanpa sadar.
Penggunaan kata-kata yang salah dalam percakapan sehari-hari bisa jadi penyebab keretakan hubunganmu dengan seseorang. Kata-kata apa sih yang sebenarnya berpotensi menyakiti perasaan orang tapi masih sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari?
1. “Autis Banget Sih.”
Saat ada teman yang asyik sendiri dengan gadget atau buku bacaannya, kita kerap dengan ringan melontarkan ucapan,
“Autis deh lo!”
Kata ‘autis’ dengan mudah kita asosiasikan dengan keengganan seseorang untuk bergabung dengan lingkungan sekitarnya. Padahal, bukan hanya tidak sensitif, asosiasi ini juga salah. Anak autis tidak berada “dalam dunianya sendiri”. Mereka juga bukan manusia robot yang tidak sensitif. Justru sebaliknya: mereka hidup dalam dunia yang persis sama dengan kita, dan seringkali memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap segala informasi di sekitar mereka.
Di luar sana banyak anak dengan sindrom autisme berjuang untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan sosial mereka. Dalam The Reason I Jump, sebuah memoir karangan anak autis berusia 13 tahun di Jepang, dijelaskan bahwa mereka yang mengidap sindrom ini terpaksa hidup dengan sensitivitas tinggi tanpa kemampuan alami untuk mengendalikan apa yang mereka rasakan. Ia mengibaratkan hidup dengan autisme seperti kehilangan editor yang seharusnya bisa “menyaring” segalanya. Seluruh informasi akan masuk begitu saja. Otak mereka jadi sangat ribut.
Anak yang menderita autis bukannya tidak sadar bahwa perilaku mereka “sulit”. Justru mereka bisa menyadari ketika orang tua dan anggota keluarga lain susah karena mereka. Itu kerap membuat mereka bertambah bingung dan bersalah karena tidak tahu “cara berhenti menjadi autis”.
Menggunakan kata “autis” untuk mengolok orang yang tampak asyik sendiri membuat kamu jadi orang yang tidak toleran terhadap apa yang dirasakan oleh mereka yang benar-benar mengidap sindrom ini.
Padahal kalau kamu hidup dengan otak mereka, bisa-bisa kepalamu sudah meledak dari dulu.
2. “Cina Banget, Sih” Atau “Biasa, Dia Kan Orang Padang“
Stigma pelit dan perhitungan sering disematkan pada mereka yang beretnis Tionghoa dan mereka yang berasal dari Padang. Entah bagaimana stigma ini bertransformasi jadi opini yang umum dipercaya masyarakat kita.
Padahal etnis Tionghoa dan suku Padang adalah kelompok yang mendominasi golongan wirausaha di Indonesia, loh.
Tidak ada orang yang bisa memilih dilahirkan dalam ras ataupun suku tertentu. Ras dan suku juga tidak punya hubungan dengan sifat seseorang. Penyederhanan identitas bahwa mereka yang pelit pasti datang dari etnis atau suku tertentu tentu sangat tidak adil.
Seandainya kamu bersekolah di luar negeri terus nilaimu jelek dan temanmu bilang, “Biasa, kan dia orang Indonesia” gimana perasaanmu?
3. Pelit VS Hemat
Di KBBI pelit berarti “orang yang tidak suka memberi sedekah”. Tapi dalam kehidupan sehari-hari penggunaan kata “pelit” sering tertukar dengan “hemat”. Ketika temanmu menolak diajak makan hedon karena sedang berusaha menabung, enteng aja kamu ejek dia dengan “pelit”.
Padahal hemat dan pelit adalah dua hal yang bertolak belakang. Pelit berkonotasi negatif dan cenderung dekat pada sifat tamak, sedangkan hemat adalah perilaku yang dianjurkan oleh semua perencana keuangan profesional.
Dia yang membelanjakan uangnya dengan hati-hati tidak berarti pelit. Bisa jadi dia malah lebih cerdas mengatur keuangannya dibanding kamu.
4. Anti Sosial (Ansos)
“Ansos banget sih kamu, di rumah terus. Gak mau gabung sama anak-anak.”
Julukan anti-sosial akan mudah didapatkan saat kamu yang biasanya supel tiba-tiba jadi pribadi yang mengurung diri. Anti sosial diartikan secara sederhana sebagai virus sesaat yang menyerang orang saat dia ingin menyendiri.
Kalau tidak dipandang lebih dalam, anti-sosial kayaknya enteng banget ya. Kayak flu aja gitu. Padahal antisosial adalah penyimpangan mental parah yang membuat penderitanya kehilangan empati terhadap perasaan orang lain.
Penderita antisocial mental disorder tidak akan mengindahkan kebutuhan orang lain, manipulatif, melakukan kebohongan patologis bahkan melakukan berbagai tindak kriminal. Semua diluar kendalinya, sebab dia memang tidak mampu menerima sistem norma di masyarakat.
Psikiater akan melakukan observasi mendalam untuk menentukan apakan seseorang memang memiliki antisocial mental disorder atau tidak. Kamu yang tidak memiliki latar belakang ilmu kesehatan jiwa mungkin sudah sepantasnya lebih bijak menggunakan kata ini.
5. “Item Banget Sih, Kayak Orang Papua.“
Pertama, gak ada salahnya berkulit hitam. Kedua, tidak semua orang Papua berkulit hitam — dan tidak semua orang kulit hitam itu dari Papua. Orang Bali, Nusa Tenggara, bahkan mereka yang berasal dari Jawa juga bisa kok berkulit hitam.
Mengasosiasikan kulit berpigmen gelap dengan suatu suku tertentu menandakan kamu tidak mengerti fakta sejarah dan geografis. Suku Papua dengan kulit gelap mereka adalah bukti dari pergeseran lempeng tektonik yang terjadi ratusan ribu tahun lalu.
Nenek moyang orang Papua memang berasal dari potongan lempeng Gondwana. Pergeseran lempeng bumi menyebabkan Papua berdekatan dengan lempeng Pasifik dan Eurasia. Selain Papua, Afrika, India, Australia, Amerika Selatan, Madagaskar, dan Antartika juga berasal dari Gondwana.
Setelah batas antar negara diatur dan diadakan referendum di tahun 1969, disepakati bahwa Papua jadi bagian dari Indonesia meskipun warganya tak beretnis Melayu. Penyederhanaan pemahaman bahwa hanya mereka yang berasal dari Papua yang berkulit hitam menunjukkan kalau pengetahuanmu soal migrasi, geografi, dan sejarah masih sangat dangkal.
6. “Gila Lo, Cacat Banget!”
Sering gak kamu mengalami hal ini? Ketika temanmu melakukan kelakuan aneh maka kamu akan mengejeknya dengan kata-kata: “Cacat banget sih!“. Mungkin maksudmu cuma bercanda, tapi tetap saja konteksnya tidak pas. Sebenarnya kamu tahu atau tidak sih arti cacat yang sebenarnya?
Cacat di KBBI diartikan sebagai “Kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak)”. Menyebut seseorang cacat adalah tuduhan serius yang kurang pantas jadi bahan bercandaan.
Lagipula mereka yang berkebutuhan khusus juga telah memperjuangkan agar kata “cacat” tidak lagi digunakan. Konotasi dari kata ini terlalu negatif, seakan orang yang cacat dianggap tidak lagi berdaya. Orang berkebutuhan khusus lebih memilih disebut dengan “difabel” (differently-abled; memiliki kemampuan berbeda) dibanding dijuluki cacat.
7. “Muka Pembantu, Makanya Disukain Bule”
(dalam sebuah arisan ibu-ibu)
X: “Eh tahu gak sih si Mawar punya pacar baru lho, bule lagi.”
Y: “Wuidiih hebat amat ya bisa dapet pacar bule?”
X: “Dia kan emang muka pembantu, wajar aja kalau bule demen.”
Penggunaan kata-kata muka pembantu akan menyakiti teman yang sedang kalian bicarakan. Lagipula memang ada ya hubungan antara profesi dengan bentuk muka? Tidak hanya menyinggung orang yang kamu sebut muka pembantu, julukan ini juga akan menyakiti mereka yang memang berprofesi sebagai Asisten Rumah Tangga (ART).
Penggunaan kata pembantu sudah sepantasnya dihilangkan dari percakapan sehari-hari. Istilah asisten rumah tangga (ART) terdengar lebih manusiawi.
8. Mencampuradukkan Anarki Dengan Kekerasan
Kata ini kerap kita temukan di headline surat kabar nasional saat terjadi kekacauan sosial di masyarakat. “Anarkisme Warga”; “Aksi Anarki Mahasiswa” jadi kalimat yang sering menyapa mata. Padahal tahukah kamu jika anarki sebenarnya tidak sama dengan ‘kekerasan’?
Anarkisme sebenarnya adalah sebuah filsafat politik yang tidak percaya bahwa hubungan antarindividu dalam masyarakat mesti diatur oleh negara (atau otoritas apapun). Ini bukan karena mereka cinta kekerasan. Justru karena mereka percaya bahwa dengan cara ini kedamaian serta perkembangan individu bisa dicapai.
Dalam artian diatas, sistem sosial anarki tidak secara serta merta bertujuan menciptakan chaos. Kekacauan atau tindak kekerasan yang terjadi adalah akibat dari ketidakmampuan warga negara menjaga interaksi yang teratur diantara mereka.
Jadi, saat melihat ada tindak kekerasan di masyarakat jangan mudah melabelinya dengan “aksi anarki”, ya. Sebab negara kita tidak menganut sistem sosial anarki di kehidupan bernegara. Sebut saja aksi tersebut “kekerasan”.
9. Sebutan “Komunis” Untuk Orang Yang Ateis
Kata “komunis” adalah momok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Bagaimanapun, kita memang pernah punya rekam jejak yang tidak mengenakkan dengan paham ini pada tahun 1965. Anehnya sekarang kata “Komunis” kembali banyak digunakan untuk melabeli mereka yang memilih untuk tidak mempercayai keberadaan Tuhan.
Komunisme dan Ateisme hanya memiliki kesamaan pada akhiran “-isme” nya saja. Kedua hal ini memang merupakan paham yang bisa dipilih untuk diyakini. Tapi ranah kedua paham ini sebenarnya sangat berbeda.
Ateisme adalah ketidakpercayaan terhadap keberadaan Tuhan. Sementara komunisme adalah ideologi ekonomi politik yang menekankan pada kesejahteraan ekonomi warga negara, melalui penghilangan hak kepemilikan pribadi.
Seorang komunis bisa menganut kepercayaan apapun. Mulai dari ateisme, Islam, hingga Katolik. Seorang ateis pun bisa mengadopsi paham politik-ekonomi atau sistem moral apapun. Humanisme, liberalisme, komunisme, sosialisme, kapitalisme. Salah kaprah tentang ateisme dan komunisme barangkali muncul dari kata-kata Karl Marx yang menyebutkan bahwa “agama … adalah candu bagi masyarakat”.
Komunisme sebenarnya tidak anti-agama. Waktu Marx menyamakan agama dengan candu, dia mau mengkritik masyarakat buruh Eropa di zaman itu yang malas berjuang karena menganggap segalanya sudah ditakdirkan Tuhan. Menurut Marx, kaum buruh ini membiarkan hak mereka untuk hidup layak “diinjak-injak” oleh kaum borjuis-kapitalis.
10. Menyebut Anak Yang Tidak Bisa Diam “Hiperaktif”
“Anak saya hiperaktif banget deh. Capek ngurusinnya. Gak bisa diem!”
Keluhan diatas kerap ditemukan dalam perbincangan antar ibu muda. Anak yang secara motorik sangat aktif sering dengan mudah dilabeli sebagai hiperaktif. Sesungguhnya label hiperaktif itu bukan hal yang ingin kita sematkan pada anak, loh.
Hiperaktif adalah kelainan pada perilaku anak yang ditandai dengan tidak mampunya seorang anak mengontrol gerakan motoriknya. Anak dengan gejala kelainan hiperaktif tidak akan mendengarkan arahan dari orang yang memiliki otoritas. Biasanya pengidap kelainan hiperaktif juga memiliki kesulitan berkonsentrasi.
Banyak orang tua anak pengidap kelainan hiperaktif yang berjuang agar anak mereka bisa hidup berdaya di lingkungan sosial loh. Sementara anak atau adikmu yang tanpa kelainan perilaku justru dengan bangganya kamu sebut hiperaktif?
11. Mudah Memberi Label “Psikopat”
Ingat gak kasus pembunuhan Ade Sara beberapa saat lalu? Media kita langsung menjuluki pasangan yang dicurigai sebagai pelaku dengan label “psikopat”. Begitu juga saat kasus Ryan “Jombang” heboh dibicarakan. Meski hasil pemeriksaan kejiwaan belum keluar Ryan sudah dianggap sebagai psikopat.
Untuk menentukan apakah seseorang psikopat atau tidak, diperlukan observasi dan tes simultan yang hanya bisa dilakukan oleh tim psikiater atau psikolog. Menjatuhkan vonis ‘psikopat’ adalah perbuatan yang serius dan berisiko tinggi. Vonis yang salah bisa menghancurkan hidup seseorang yang sebenarnya normal.
Seseorang dengan kecenderungan psikopatik tak mampu merasa bersalah, berempati, atau menyesal: ketiga hal yang biasanya menjauhkan manusia dari perbuatan jahat. Sebagian besar ahli jiwa menganggap kecenderungan psikopatik tidak bisa disembuhkan. Inilah kenapa seorang psikopat bisa dianggap sangat berbahaya dan seringkali memerlukan fasilitas perawatan kejiwaan.
Sekali lagi, penilaian tentang kondisi kejiwaan seseorang tidak layak dilakukan oleh orang awam yang tidak punya latar belakang ilmu kejiwaan.
12. Yahudi = Zionis?
Zionisme adalah gerakan untuk memurnikan kembali ajaran Yahudi dan mengembalikan tanah perjanjian di Israel sebagai tempat tinggal khusus Bangsa Yahudi. Gerakan inilah yang kerap disalahkan sebagai penyebab konflik tak berujung antara Israel dan Palestina, yang telah memakan banyak korban jiwa.
Tapi apakah semua Yahudi adalah Zionis? Dalam kelompok Yahudi sendiri dukungan terhadap gerakan pemurnian ajaran ini terpecah. Ada kelompok Yahudi yang mengkategorikan dirinya sebagai Anti-Zionis. Kelompok ini menolak upaya menjadikan Palestina sebagai tanah khusus untuk Bangsa Yahudi.
Ada pula kelompok yang menamakan dirinya Non-Zionis. Mereka adalah orang Yahudi yang mendukung usaha mengambil alih Palestina sebagai Tanah yang Dijanjikan, tapi tidak akan pindah dan menetap di Palestina.
Bahkan golongan Yahudi Ortodoks secara terang-terangan menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap gerakan tentara Zionis yang berusaha mengambil alih Palestina. Seperti berbagai agama lain di dunia, tidak semua orang Yahudi sepakat dengan apa yang dilakukan oleh rekan-rekan seimannya. ya seperti umat Islam mengecam terrorisme yang sering dilakukan oleh Islam Radikal tertentu.
Semoga dengan refleksi ringan ini kita bisa lebih bijak memilih kata-kata untuk digunakan dalam percakapan, ya. Hal yang bagi kita biasa saja bisa jadi tidak nyaman jika didengar orang lain.
sumber: http://www.hipwee.com/inspirasi/kata-kata-sensitif-yang-sering-digunakan-dengan-tidak-bijak/
.