Sejak masa penjajahan kolonial Belanda, hingga revolusi kemerdekaan. Warga etnis Tionghoa telah memberikan sumbangsih serta ikut berperan menegakkan NKRI. Hingga 66 tahun Indonesia Merdeka, sejarah keterlibatan dan peran warga etnis Tionghoa dalam masa revolusi kemerdekaan belum diungkap tuntas. Padahal, sejumlah warga etnis Tionghoa dari berbagai daerah di Indonesia, banyak ikut dan berperan dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan, banyak yang juga diangkat menjadi anggota veteran dan beberapa diantaranya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Karena peran dan keterlibatan mereka dalam aksi-aksi kemiliteran.
Salah satu dari mereka bahkan kemudian menjadi Pahlawan Nasional. Perlu digarisbawahi pula, bahwa kaum perempuan pun tidak ketinggalan ikut menjaga Proklamasi 17 Agustus 1945. Inilah kisah mereka dan semoga apa yang telah mereka sumbangkan bisa menjadi suri tauladan bagi kita bersama.
Minoritas perantara dan sikap Tionghoa yang terpecah priode 1942-1949, merupakan masa pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan, diabadikan oleh seorang penulis peranakan Tionghoa sebagai masa Indonesia dalam api dan bara karena penuh dengan pergolakan, kekerasan dan ketakutan.
Pendudukan Jepang berlangsung singkat, hanya tiga setengah tahun (Maret 1942-Agustus 1945), namun akibat yang ditimbulkannya amat besar bagi etnis Tionghoa. Berakhirnya pendudukan Jepang diikuti dengan masa Revolusi, yakni konflik Indonesia melawan Belanda, yang sering juga disebut Jaman Bersiap. Bagaimanakah sikap etnis Tionghoa dalam masa Revolusi Kemerdekaan? Sejarawan Mary Somers-Heidhues memberikan analisisnya sebagai berikut.
Pertama, sebagian etnis Tionghoa tidak ingin berpihak dalam konflik Indonesia-Belanda, karena mereka berpendapat bahwa mereka bukanlah Belanda dan juga bukan Indonesia. Sikap netral ini muncul sebagai produk divide et impera kolonial Belanda dan politik resinifikasi (pencinaan kembali) penguasa Jepang. Walaupun posisi ini sering menuai kritik, namun di beberapa daerah, ironisnya, justru sikap netral inilah yang diminta oleh golongan pejuang Indonesia dari golongan Tionghoa. Satu contoh adalah pidato seorang pemimpin perjuangan di Sukabumi Dr Abu Hanafiah pada tahun 1946. Abu Hanafiah meminta agar warga etnis Tionghoa, tidak mencampuri urusan politik.
Kedua, disana-sini terdapat beberapa Tionghoa peranakan maupun totok yang bersimpati dan berjuang di pihak Republik, Tokoh yang paling vokal barangkali adalah Liem Koen Hian (1896-1952). Dirinya sudah menegaskan identitas keindonesiaannya ketika di tahun 1932 mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI), yang tanpa henti menyerukan kepada peranakan Tionghoa untuk memberikan loyalitas politiknya kepada Indonesia. Liem adalah salah satu founding fathers Negara Republik Indonesia, karena partisipasinya dalam perjalanan BPUPKI. Dalam salah satu sidang BPUPKI menjelang kemerdekaan, secara tegas Liem memohon agar dalam negara Indonesia nanti, secara otomatis golongan Tionghoa diberi kewarganegaraan Indonesia. Namun sayang, cita-citanya tidak terwujud. Kemudian ada juga sekelompok etnis Tionghoa yang dekat pada golongan sosialis-nya Sutan Syahrir, karena merasa masa depan etnis Tionghoa berada dalam Indonesia baru, dengan jalan asimilasi.
Ketiga, sikap mayoritas etnis Tionghoa adalah mengharapkan perlindungan Republik Tiongkok, yang selepas Perang Dunia II ikut menjadi salah satu anggota The Big Five, lima negara pemenang perang.Dengan demikian, mayoritas etnis Tionghoa akhirnya memilih bersikap netral dalam konflik Indonesia-Belanda. Sikap netral ini juga bisa diakibatkan karena posisi historis mereka sebagai minoritas perantara (middleman minority).
Dalam masyarakat-masyarakat multietnis, kadang terdapat kelompok-kelompok etnis tertentu yang menduduki status perantara (middle status) diantara kelompok dominan yang berada di puncak hirarki etnis dan kelompok subordinat yang berada di bawah. Minoritas perantara sering berfungsi sebagai mediator antara kelompok dominan dan kelompok etnis subordinat. Mereka biasanya menduduki ceruk perantara (intermediate niche) dalam sistem ekonomi. Mereka memainkan berbagai peran dalam mata pencaharian selaku pedagang, pemilik toko, pembunga uang dan profesional independen. Dengan demikian minoritas perantara melayani baik kelompok dominan dan subordinat.
Mereka melakukan tugas-tugas ekonomis yang bagi mereka yang berada di puncak (elit) dianggap sebagai hal yang dibenci atau kurang bermartabat. Sehubungan dengan posisi ekonomi perantara mereka, kelompok ini sangat rentan (vulnerable) terhadap permusuhan dari luar kelompok etnisnya, baik yang muncul dari kelompok dominan maupun subordinat. Pada masa-masa tegang, mereka adalah kambing hitam yang alami (natural scapegoat). Baik secara jumlah maupun secara politis, mereka tidak berdaya dan oleh karena itu harus memohon perlindungan kepada kelompok dominan, yang akan memberikannya sejauh peran ekonomis mereka masih dibutuhkan.
Dari uraian di atas, nampak jelas, bahwa golongan Tionghoa menempati posisi sebagai minoritas perantara. Kedudukan ini bukan hanya dimulai dari masa kolonial, namun sejak berkembangnya zaman kerajaan Islam di nusantara, orang-orang Tionghoa sudah banyak diberi kedudukan dengan hal-hal yang dekat dengan uang, misalnya selaku syahbandar atau penarik pajak.
Kolonial Belanda kemudian mengembangkan hal tersebut dan memperluas bidang cakupan yang dipegang oleh pengusaha Tionghoa seperti pungutan pajak jalan tol dan bisnis candu, dua hal yang sangat dibenci oleh orang pribumi. Posisi sebagai minoritas perantara membuat mereka selalu ingin berada di tengah. Menghindari kesulitan yang bakal muncul dari posisi mereka, walaupun ternyata pilihan ini bukannya menyelesaikan masalah. Bahkan,justru makin banyak menimbulkan persoalan. Apabila lingkaran setan sebagai middleman minority tidak diputuskan, maka dikhawatirkan dalam tiap zaman kedudukan golongan Tionghoa akan selalu serba salah, seperti yang dilukiskan dengan bagus oleh seorang peneliti dari Australia, Charles Coppel. Menurutnya, orang Tionghoa itu ibarat makan buah simalakama bila memikirkan kegiatan politik.
Jika mereka terlibat dalam kalangan oposisi, mereka dicap subversif. Apabila mereka mendukung penguasa waktu itu, mereka dicap oportunis. Dan jika mereka menjauhi diri dari politik, mereka juga oportunis sebab mereka itu dikatakan hanya berminat mencari untung belaka.