Ads

Selasa, 20 Mei 2014

Mitos-Mitos Pengacara di Indonesia


Mendengar kata pengacara, kita mungkin langsung punya pemikiran sendiri. Mulai dari jago debat, hafal pasal-pasal di undang-undang, berani menghadapi hakim, bahkan mungkin hingga yang jelek-jelek seperti hanya mau membela yang bayar, suka "ngerjain" klien, dan lain sebagainya.

Nah, ini nih beberapa mitos yang sering dikenakan ke pengacara di Indonesia. Apakah memang benar? 



1. Pasti Hapal Pasal?
Mungkin memang ada pandangan dari sebagian masyarakat bahwa orang-orang yang bergelut di bidang hukum, termasuk pula pengacara harus bisa menghafal semua pasal di peraturan perundang-undangan. Padahal, pada kenyataannya tidak begitu.

Demikian pula halnya ketika mahasiswa fakultas hukum mengambil jurusan Hukum Perdata, dia tidak diwajibkan menghafal seluruh pasal. Seperti dikatakan pengajar Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Suharnoko, S.H., M.L.I, mahasiswa tidak perlu menghafal semua pasal. Menurutnya, yang penting adalah mahasiswa memahami doktrin-doktrin yang melatarbelakangi pembentukan pasal-pasal itu sehingga akan lebih tajam dalam melihat persoalan. 

Sebenarnya memang pasal dalam peraturan perundang-undangan perlu dihafal, meski tidak semua, misalnya saja pasal yang penting dan sering dipakai dalam praktik. Selain itu, katanya yang paling penting dalam mempelajari ilmu hukum adalah memahami konsep dan filosofi. 

Jadi, memiliki kemampuan untuk menghafal semua pasal bukanlah hal yg pasti dimiliki oleh pengacara karena pemahaman akan konsep dan logika hukum adalah lebih penting.


2. Tarif Advokat Selalu Mahal?
Besarnya honorarium advokat, menurut Pasal 21 ayat (2) UU Advokat, ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak (advokat dan klien). Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan risiko, waktu, kemampuan, dan kepentingan klien. Selain itu, mengenai honorarium, di dalam Pasal 4 huruf e Kode Etik Advokat Indonesia dinyatakan bahwa advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.

Dalam prakteknya, menurut Binoto Nadapdap dalam buku “Menjajaki Seluk Beluk Honorarium Advokat”, untuk menentukan besaran honorarium advokat dan komponen-komponennya, biasanya digunakan dua metode:
1. penentuan secara kontijensi, dan
2. berdasarkan jam kerja atau waktu yang dibutuhkan.
Sekarang, masih menurut Binoto, cukup banyak advokat yang menetapkan tarif berdasarkan waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan kasus klien (hourly billing).

Pendapat lain, dalam salah satu artikel hukumonline Ari Yusuf Amir: Jangan Gadaikan Reputasi Advokat dengan Membohongi Klien, Ari Yusuf membagi fee advokat ke dalam tiga klasifikasi yaitu;
1. Lawyer fee, yang umumnya dibayar di muka sebagai biaya profesional sebagai advokat. 
2. Operational fee, yang dikeluarkan klien selama penanganan perkara oleh advokat, dan
3. Success fee, prosentasenya ditentukan berdasarkan perjanjian antara advokat dengan klien. Success fee dikeluarkan klien saat perkaranya menang, tapi jika kalah, advokat tidak mendapat success fee.

Gambaran mengenai fee advokat juga dapat dilihat dalam buku Advokat Indonesia Mencari Legitimasi yang diterbitkan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (“PSHK”). Dalam buku tersebut (hal. 315) ditulis antara lain bahwa sebuah kantor hukum di Jakarta menetapkan komponen biaya jasa hukum untuk kasus perceraian sebagai berikut:
1. honorarium advokat;
2. biaya transport;
3. biaya akomodasi;
4. biaya perkara;
5. biaya sidang; dan
6. biaya kemenangan perkara (success fee) yang besarnya antara 5-20 persen.

Jadi pada dasarnya, tarif yang dikenakan oleh advokat beragam dan tidak selalu akan memakan biaya yang besar. Semua bergantung pada kasus apa yang ditangani dan tentu saja bergantung pada advokat yang akan digunakan jasanya.

Lengkapnya:
Jasa Advokat
Fee yang Wajar untuk Advokat


3. Hanya Membela Yang Bayar?
Mitos lain yang terlanjur melekat dari keberadaan advokat adalah ‘membela yang bayar’. Boleh jadi anggapan ini muncul krn banyaknya film atau pemberitaan yg menunjukkan bahwa seorang advokat mati-matian membela kliennya. Dan kebetulan kliennya adlh org yg jumlah duitnya gak berujung. Akhirnya muncul deh kesan bahwa advokat hanya membela mereka yg membayar.

Dalam kenyataannya, bisa jadi memang ada advokat yg berwatak seperti itu. Yaitu cuman mau membela yg bayar. Tapi jgn keburu memvonis semua advokat bermental seperti itu gan. Karena faktanya ada jg lho advokat yg membela klien yg gak mampu membayar jasa hukum.

Advokat yang memberikan layanan bantuan hukumnya secara cuma-cuma kpd masyarakat tdk mampu biasa disebut dgn advokat probono. 

Dulu, biasanya hanya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yg tdk mengenakan tarif jasa hukum kpd para kliennya. Tapi sejak tahun 2010, organisasi advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mengeluarkan peraturan yg mewajibkan setiap advokat memberikan bantuan hukum probono sekurang-kurangnya 50 jam dlm setahun. Peraturan tersebut mrpkn turunan dari UU Advokat yg memang mewajibkan advokat memberi bantuan hukum scr gratis kpd masyarakat yg tidak mampu.

Lebih lanjut, baca sumber ini aja :
Tentang Kantor Hukum, Lembaga Bantuan Hukum dan Konsultan Hukum
Bagaimana cara masyarakat miskin mengakses dana bantuan hukum?
Perbedaan probono dan prodeo?
Bantuan hukum di atas kertas?


4. Pengacara Pasti Glamour?
Mitos bahwa pengacara bergaya hidup glamour sedikit banyak muncul berdasarkan gaya hidup pengacara selebritis yang selalu tampil mencolok dengan gaya pakaian maupun mobil mewahnya dan pemilik rumah bak istana nan megah.

Salah satu diantaranya adalah Hotman Paris Hutapea yang dikenal mengkoleksi mobil mewah. Hotman dalam persidangan bahkan mengaku pernah berebut dengan Choel Mallarangeng untuk membeli Ferrari California yang di showroom di bilangan Pondok Indah. Mobil itu, kata Hotman, sebenarnya ingin dia beli. Namun, dealer ternyata memilih Choel karena siap membayar Rp6 milyar tunai. 

Tidak semua pengacara bergaya hidup glamour pengacara publik contohnya. Pengacara yang satu ini berbeda dengan pengacara selebritis yang sering terlihat di hotel-hotel atau cafe mahal saat menggelar konfrensi pers, pengacara publik lebih sering terlihat di lokasi-lokasi demo yang jauh dari kemewahan. 

Salah satunya adalah Restaria F. Hutabarat, pengacara public yang dituntut serba bisa ini tidak mengambil bayaran dari kliennya. Sehari-hari Resta hanya mendapat gaji yang tidak besar dari LBH Jakarta tempatnya bekerja.

 
Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/ba...-jawab-profesi
http://www.hukumonline.com/berita/ba...kat-serba-bisa
http://www.hukumonline.com/berita/ba...l-mallarangeng


5. Pengacara Identik dengan Suku Tertentu?
Banyak orang sudah mengasosiasikan pengacara dengan suku tertentu, misalnya dengan suku Batak. Tak heran, memang banyak pengacara-pengacara ternama yang kebetulan memiliki warisan budaya batak dan tentunya memiliki marga di belakang namanya. Sebut saja Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Hotman Paris Hutapea, Hotma Sitompoel, Luhut Pangaribuan, Junimart Girsang, Otto Hasibuan, dan masih banyak lagi.

Namun apakah profesi pengacara memang identik dengan suku Batak?

tentu saja tidak. Profesi pengacara tentunya tidak dibatasi dengan faktor kesukuan. Yang menentukan adalah bagaimana pengacara yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dan rentetan tugas lainnya. Lagipula, masih banyak pengacara dari suku lain dan memiliki kemampuan yang mumpuni. Misalnya saja OC Kaligis, Tuti Hadiputranto (HHP), Chandra M Hamzah, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Elza Syarief, Frans Hendra Winarta, dan masih banyak lagi.



Itu dia beberapa mitos yang sering kita tau soal pengacara di Indonesia. siapa tau agan-aganwati tau beberapa mitos lain, yang mungkin ingin diluruskan di sini? silakan di-share..


sumber: http://www.kaskus.co.id/thread/537968a9c0cb17b12e8b464e/

.

Ads