Melalui akun Facebook Suratno Paramadina, diupload sebuah foto Truk bermuatan penuh ratusan kardus camilan makanan ringan sedang berhenti di sebuah bahu jalan. Di belakang truk itu tertulis sebuah kalimat unik berbunyi “GAK PULANG DICARI, PULANG DIOMELI”.
Sepintas lalu, kalimat itu terkesan kocak dan mengundang tawa. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, kalimat tersebut merupakan refleksi dari kegalauan sopir truk (dan juga kenek-nya) dalam menjalani hidup.
Hal ini tampak nyata dari update status Suratno yang menjadi narasi tekstual dari gambar tersebut. Suratno menulis :
“Dulu saya sering ketawa kalau lihat bagian belakang truk ada gambar atau tulisan-tulisan yang unik. Termasuk kemarin lihat truk ini (di belakang truk tertulis “gak pulang dicari, pulang diomeli” – pen). Saya iseng tanya ke kerneknya. Dia bilang gambar dan tulisan di bagian belakang truk merefleksikan kegalauan mereka.
Dari pernyataan di atas, terbaca bahwa seringkali kita – termasuk saya – menertawakan kegetiran, atau bahasa jaman sekarang, kegalauan hidup yang orang lain. Tragedy bagi seseorang kerapkali dibaca sebagai komedi bagi orang lain. Di samping itu, hidup yang penuh tragedi tidak melulu harus dihadapi dengan tangis dan air-mata. Seperti dalam teks kalimat di bagian belakang truk di atas, “GAK PULANG DICARI, PULANG DIOMELI”, terkesan lucu dan bernada humor.
Teks kalimat itu merefleksikan – sejatinya – kegamangan hidup berupa perpaduan antara kerinduan dan kejengkelan. Term “GAK PULANG DICARI” merefleksikan kerinduan, kangen yang menggebu; sementara itu, “PULANG DIOMELI” menandakan adanya kejengkelan (atau bahkan mungkin kebencian). lantas, apa yang membuat sopir truk (atau kenek-nya) menulis kalimat itu ? Suratno, dosen dari Universitas Paramadina ini menarasikannya sebagai berikut :
“Supir/kernek truk mengangkut barang untuk jarak jauh sehingga sering pisah lama dengan istri dan anak-anaknya. Istrinya kadang-kadang telpon untukk tanyatanya posisi atau kapan pulangnya. Tapi kalau pas pulang, kadang-kadang di omeli karena bawa uang trlalu sedikit...”
Kemudian, Suratno menguraikan betapa hidup sebagai sopir truk (dan juga kenek-nya) penuh dengan resiko dan balada. Hidup yang penuh dengan kisah kebersahajaan khas orang-orang pinggiran di Indonesia. Suratno menulis :
“Kata bang-kernek, gajinya mingguan sekitar 200-400 ribu tergantung trayeknya dan kadang ada tip/bonus serta tambahan jika bisa ngirit biaya trayek. Sekali trayek dibekali 1.500.000. Separohnya untuk BBM bolak-balik. Seperempat untuk makan-minum supir dan kerneknya. Seperempat lagi untuk denda jembatan timbang dan jaga- kalau ada pungli/pungutan liar...”
Dari uraian di atas, kita membaca bahwa gaji pokok dari seorang kenek sekitar Rp. 800 ribu sampai Rp. 1,2 juta per bulan. Bandingkan dengan gaji pokok seorang anggota DPR yang Rp. 40 juta-an per bulan. Perbandingannya bak langit dan bumi. Belum lagi, gaji pokok yang dibawa pulang oleh seorang sopir truk (dan juga kenek-nya ) itu masih bisa berkurang tergantung dari resiko-resiko yang mereka hadapi selama perjalanan, seperti : denda di jembatan timbang dan berbagai pungutan liar yang sering dilakukan oleh oknum-oknum aparat di jalan.
Untuk pungli, misalnya, seorang sopir truk harus melempar uang kepada oknum polisi di jalan sebesar antara 5.000 sampai 20.000 (Bisnis.com, 29/8/2014). celakanya, uang yang dilempar itu tidak diberikan sekali. Sepanjang jalur Pantura, misalnya, sopir truk bisa bertemu dengan enam atau lebih polisi yang meminta lemparan uang. Hal yang sama juga terjadi di jembatan timbang. Petugas dinas PU juga kerap memungut uang dari sopir truk ini. Singkatnya, jika sopir truk (dan kenek-nya) tak bisa menghemat biaya operasional selama perjalanan, bisa-bisa mereka membawa uang sangat minim saat pulang.
Belum lagi, sopir/kenek truk juga masih harus menghadapi resiko lain yang mungkin mereka hadapi saat perjalanan itu, yakni berupa tindakan kriminalitas. Suratno menulis :
“Bang kernek cerita dia sbnrnya dia sdh lama ingin ganti kerja, tp smp skrg blm ada. Alasannya krn jd kernek hrs jauh-lama dr anak istri, gajinya terbatas & blm lagi soal keamanan (dari rampok/begal dijalan dll).
Realitas sosial seperti ini tentu saja sangat dilematis bagi seorang sopir/kenek truk. Berpaling pada pekerjaan lain, ia tak kunjung mendapat pekerjaan yang layak secara finansial, tetap menjadi sopir/kenek truk, penghasilannya jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan ditambah dengan berbagai resiko yang dihadapi di jalanan.
1. Mobil mereka panas, dibawah pantat mereka ada mesin minimal 3.000cc dan tidak ada AC.
Kebayang deh panasnya duduk di atas kursi truk di bawah panasnya terik matahari
Hal ini tampak nyata dari update status Suratno yang menjadi narasi tekstual dari gambar tersebut. Suratno menulis :
“Dulu saya sering ketawa kalau lihat bagian belakang truk ada gambar atau tulisan-tulisan yang unik. Termasuk kemarin lihat truk ini (di belakang truk tertulis “gak pulang dicari, pulang diomeli” – pen). Saya iseng tanya ke kerneknya. Dia bilang gambar dan tulisan di bagian belakang truk merefleksikan kegalauan mereka.
Dari pernyataan di atas, terbaca bahwa seringkali kita – termasuk saya – menertawakan kegetiran, atau bahasa jaman sekarang, kegalauan hidup yang orang lain. Tragedy bagi seseorang kerapkali dibaca sebagai komedi bagi orang lain. Di samping itu, hidup yang penuh tragedi tidak melulu harus dihadapi dengan tangis dan air-mata. Seperti dalam teks kalimat di bagian belakang truk di atas, “GAK PULANG DICARI, PULANG DIOMELI”, terkesan lucu dan bernada humor.
Teks kalimat itu merefleksikan – sejatinya – kegamangan hidup berupa perpaduan antara kerinduan dan kejengkelan. Term “GAK PULANG DICARI” merefleksikan kerinduan, kangen yang menggebu; sementara itu, “PULANG DIOMELI” menandakan adanya kejengkelan (atau bahkan mungkin kebencian). lantas, apa yang membuat sopir truk (atau kenek-nya) menulis kalimat itu ? Suratno, dosen dari Universitas Paramadina ini menarasikannya sebagai berikut :
“Supir/kernek truk mengangkut barang untuk jarak jauh sehingga sering pisah lama dengan istri dan anak-anaknya. Istrinya kadang-kadang telpon untukk tanyatanya posisi atau kapan pulangnya. Tapi kalau pas pulang, kadang-kadang di omeli karena bawa uang trlalu sedikit...”
Kemudian, Suratno menguraikan betapa hidup sebagai sopir truk (dan juga kenek-nya) penuh dengan resiko dan balada. Hidup yang penuh dengan kisah kebersahajaan khas orang-orang pinggiran di Indonesia. Suratno menulis :
“Kata bang-kernek, gajinya mingguan sekitar 200-400 ribu tergantung trayeknya dan kadang ada tip/bonus serta tambahan jika bisa ngirit biaya trayek. Sekali trayek dibekali 1.500.000. Separohnya untuk BBM bolak-balik. Seperempat untuk makan-minum supir dan kerneknya. Seperempat lagi untuk denda jembatan timbang dan jaga- kalau ada pungli/pungutan liar...”
Dari uraian di atas, kita membaca bahwa gaji pokok dari seorang kenek sekitar Rp. 800 ribu sampai Rp. 1,2 juta per bulan. Bandingkan dengan gaji pokok seorang anggota DPR yang Rp. 40 juta-an per bulan. Perbandingannya bak langit dan bumi. Belum lagi, gaji pokok yang dibawa pulang oleh seorang sopir truk (dan juga kenek-nya ) itu masih bisa berkurang tergantung dari resiko-resiko yang mereka hadapi selama perjalanan, seperti : denda di jembatan timbang dan berbagai pungutan liar yang sering dilakukan oleh oknum-oknum aparat di jalan.
Untuk pungli, misalnya, seorang sopir truk harus melempar uang kepada oknum polisi di jalan sebesar antara 5.000 sampai 20.000 (Bisnis.com, 29/8/2014). celakanya, uang yang dilempar itu tidak diberikan sekali. Sepanjang jalur Pantura, misalnya, sopir truk bisa bertemu dengan enam atau lebih polisi yang meminta lemparan uang. Hal yang sama juga terjadi di jembatan timbang. Petugas dinas PU juga kerap memungut uang dari sopir truk ini. Singkatnya, jika sopir truk (dan kenek-nya) tak bisa menghemat biaya operasional selama perjalanan, bisa-bisa mereka membawa uang sangat minim saat pulang.
Belum lagi, sopir/kenek truk juga masih harus menghadapi resiko lain yang mungkin mereka hadapi saat perjalanan itu, yakni berupa tindakan kriminalitas. Suratno menulis :
“Bang kernek cerita dia sbnrnya dia sdh lama ingin ganti kerja, tp smp skrg blm ada. Alasannya krn jd kernek hrs jauh-lama dr anak istri, gajinya terbatas & blm lagi soal keamanan (dari rampok/begal dijalan dll).
Realitas sosial seperti ini tentu saja sangat dilematis bagi seorang sopir/kenek truk. Berpaling pada pekerjaan lain, ia tak kunjung mendapat pekerjaan yang layak secara finansial, tetap menjadi sopir/kenek truk, penghasilannya jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan ditambah dengan berbagai resiko yang dihadapi di jalanan.
1. Mobil mereka panas, dibawah pantat mereka ada mesin minimal 3.000cc dan tidak ada AC.
Kebayang deh panasnya duduk di atas kursi truk di bawah panasnya terik matahari
2. Berbeda dengan hidup karyawan atau pengusaha yang teratur, mereka jarang pulang ke rumah. Buat mereka lebih baik tidak ketemu anak daripada tidak bisa memberi makan anak.
Kasian Keluarganya di rumah yang menanti.
Kasian Keluarganya di rumah yang menanti.
3. Mereka sering di lajur kanan, tetapi lambat
Seperti yang kita ketahui jalur kanan itu memang untuk mendahului, tetapi bermanuver dengan truk itu sulit loh, mobil aja yang lebih kecil dari truk kadang pernah menabrak orang di jalur kiri apa lagi truk kalo lewat jalur kiri?
Seperti yang kita ketahui jalur kanan itu memang untuk mendahului, tetapi bermanuver dengan truk itu sulit loh, mobil aja yang lebih kecil dari truk kadang pernah menabrak orang di jalur kiri apa lagi truk kalo lewat jalur kiri?
4. Banyak pungli, Yah kalo ini mah semua orang juga tau dah, dari mulai yang berseragam sampai preman jalanan.
Udah bawa uang pas pas-an masih aja di minta sama si Preman.
5. Hidup mereka tidak teratur, mereka kudu tidur dan menunggu antrian berjam-jam lamanya. Baik itu antrian ambil barang di pelabuhan, maupun untuk bongkar di tujuan. Kesabaran mereka melebihi uang yang mereka dapatkan.
Kebayang deh udah ngantuk nunggu dimuat atau Dibongkar tidur dikit selip truk lain deh.
Udah bawa uang pas pas-an masih aja di minta sama si Preman.
5. Hidup mereka tidak teratur, mereka kudu tidur dan menunggu antrian berjam-jam lamanya. Baik itu antrian ambil barang di pelabuhan, maupun untuk bongkar di tujuan. Kesabaran mereka melebihi uang yang mereka dapatkan.
Kebayang deh udah ngantuk nunggu dimuat atau Dibongkar tidur dikit selip truk lain deh.
6. Bajing Loncat
Nah yang satu ini, nggak cuma barang di bus yang dijarah, truk juga yang satu ini paling merugikan, barang senilai Jutaan hilang diambil sama para bajing loncat.
Nah yang satu ini, nggak cuma barang di bus yang dijarah, truk juga yang satu ini paling merugikan, barang senilai Jutaan hilang diambil sama para bajing loncat.
7. Mengapa mereka berjalan pelan di tol? Bukan karena powernya kurang, tetapi ban mereka tidak tahan terhadap panas. Ban mereka bukan ban supercanggih, ban mereka kadangkala hanya vulkanisiran. Entah berapa harga ban Bridgestone untuk truk sekarang, dulu aja udah 1 juta per ban, Makanya banyak kasus ban pecah di tol.
Udah muatan banyak ban Vulkanisiran lagi.
Udah muatan banyak ban Vulkanisiran lagi.
Maka dari itu saya mengajak semua untuk memberikan sedikit empati kepada mereka. Mereka juga manusia biasa yang punya emosi, punya keluarga yang harus dinafkahi, dan ingin dihargai juga sesama pemakai jalan. Pernahkah terpikir bahwa barang yang mereka bawa adalah untuk kita juga, contoh :
1. Aqua galon, bagaimana kalau stok aqua di warung habis gara-gara truk yang membawanya pecah ban?
2. Beton pembuat jalan layang (ini mobil dipastikan superlelet), bagaimana kita bisa merasakan flyover kalau betonnya tidak dibawa sama truk ini?
3. Motor vixion, (hehehe.. kalo yang ini narsis). Bagaimana kalau truk yang membawa motor keren ini terlambat datangnya, so pasti ente tidak bisa mejeng sama pacar kan?
4. Dan sebagainya.
Hehe.. lucu juga kan kalau kita menyumpahi pembawa barang yang dimana kita sangat memerlukan barang tersebut? Masak iya ada truk trailer berkeliaran cuma iseng?
Quote:Hargai lah mereka di jalan ikuti tanda yang mereka berikan, tanpa mereka kita tidak bisa menikmati kebutuhan hidup pokok kita, masa iya kita tinggal di kota sedangkan barang yang di butuhkan ada di desa yang jaraknya 200km mau diambil sendiri.
Quote:Hargai lah mereka di jalan ikuti tanda yang mereka berikan, tanpa mereka kita tidak bisa menikmati kebutuhan hidup pokok kita, masa iya kita tinggal di kota sedangkan barang yang di butuhkan ada di desa yang jaraknya 200km mau diambil sendiri.
sumber: https://jombloati.wordpress.com/2011/01/28/berilah-empati-pada-kendaraan-kendaraan-besar/
.