Ads

Jumat, 11 November 2011

Pahlawan yang Terlupakan, Penghianat yang Diagungkan







Soekarno vs Soeharto
Menjelang peristiwa G30S, isu sakitnya Presiden Sukarno menjadi salah satu pemicu tindakan yang diambil oleh beberapa kelompok yang bertikai di bidang politik. Jika Presiden Sukarno meninggal siapa penggantinya ? Sukarno pernah mengalami gangguan ginjal dan pernah dirawat di Wina. Pada bulan Juli 1965 muncul rumor tentang sakitnya Sukarno. Tanggal 4 Agustus ia muntah-muntah dan membatalkan jadwal kerja hari itu. Desas-desus ini menyebar luas. Jenderal A Yani segera berkunjung dan menjumpainya dalam keadaan “baik-baik saja”.


Di dalam memoarnya yang baru diterbitkan tahun 2000, Subandrio mengatakan bahwa dokter yang memeriksa Sukarno adalah dokter keturunan Cina dari Kebayoran Baru bukan dokter dari RRC. Usia yang makin tua menyebabkan mantan Waperdam dan Menlu ini sulit mengingat suatu peristiwa secara persis. Namun sebetulnya apa yang disampaikannya barangkali juga ada benarnya. Karena dalam persidangan Mahmillub tahun 1966, Subandrio mengakui tentang keberadaan dokter dari RRC tersebut. Namun Presiden Soekarno juga memiliki dokter pribadi, salah satunya adalah Dr Tan. Mungkin dia yang dimaksud oleh Subandrio.


Pada tanggal 4 Agustus 1965, Mahar Mardjono yang sedang praktek di RS St Carolus dijemput oleh Mayor Dr. Darjono (Cakrabirawa) ke Istana Merdeka. Presiden Sukarno muntah-muntah, pusing dan tidak bisa berdiri karena sempoyongan. Mahar melihat ada dua dokter RRC di istana Merdeka. Tanggal 8 Agustus 1965, saksi (Mahar) melihat DN Aidit di Istana Merdeka dan masuk ke ruangan tempat Bung Karno diperiksa. Saat itu saksi sedang memeriksa kesehatan Presiden dengan dua neurolog dari RRC. Aidit bertanya bagaimana kesehatan BK. Dijawab Mahar “baik”.


Menurut Subandrio dalam persidangan, penyakit Presiden sebetulnya tidak serius, tapi masalahnya Bung Karno tidak mau dioperasi. Oleh sebab itu para dokter dari RRC itu melakukan pengobatan dengan ramuan tradisional untuk mengobati/menghancurkan batu ginjal. Para dokter itu memang datang secara rutin ke jakarta, dua kali dalam setahun.


“Membunuh” pelan-pelan


Setelah Soeharto berkuasa, perlakuan yang diberikannya terhadap Sukarno sekilas kelihatan halus tetapi sebenarnya sangat menyakitkan. Hal ini terlihat penuturan Oei Hong Kian yang pernah menjadi dokter gigi Bung Karno. Awal tahun 1967, dr Tan, dokter pribadi Sukarno meminta Oei datang ke Istana karena sang Presiden sakit gigi. Ternyata peralatan gigi yang ada di Istana Negara sudah ketinggalan jaman (berasal dari gudang NICA, Belanda), memakai bor gigi yang tidak dilengkapi air pendingin. Oei menyarankan agar perawatan gigi itu dilakukan di rumah sekaligus tempat praktiknya di jalan Serang karena alat-alatnya lengkap dan modern. Namun hal itu tidak diijinkan oleh pihak keamanan. Terpaksa alat-alat yang ada pada tempat praktik Drg Oei dibawa ke Istana lalu dipasang. Setelah selesai dibawa kembali ke rumah dan dipasang pula di sana. Betapa repotnya. Ternyata BK memerlukan perawatan yang intensif, sehingga Oei terpaksa bolak-balik ke Istana. Setiap kali pengobatan Sukarno menahan Oei untuk bercakap-cakap. Sang Presiden itu sangat kesepian. Tidak ada lagi pembantu dan temannya yang berani datang ke Istana kecuali segelintir orang seperti Leimena dan pengusaha Dasaat. Bulan Maret 1967, Soeharto diangkat jadi Pejabat Presiden. Sukarno harus angkat kaki dari Istana Merdeka dan pindah ke Bogor. Sebetulnya sejak lama ia sudah diperlakukan sebagai tahanan rumah. Permulaan September 1967, Sukarno sakit gigi. Karena di Bogor tidak ada alat-alat perawatan, ia harus datang ke dokter gigi. Namun itu dilakukan dengan pengamanan yang ekstra ketat. Pukul 9 pagi, Sukarno datang, sebelumnya mobil Drg Oei sudah dikeluarkan dari garasi. Mobil Sukarno masuk garasi dan pintu garasi ditutup. Lalu Sukarno yang masih berstatus Presiden masuk ke rumah dokter gigi melalui garasi. Ini persis seperti orang memasuki kamar motel di Jakarta.


Enam orang prajurit bersenjata lengkap masuk rumah. Bahkan salah satu di antaranya memaksa untuk masuk ke ruang praktik. Drg Oei dapat meyakinkan bahwa ia harus menjaga rahasia penyakit pasiennya sehingga tentara itu akhirnya menjaga di depan pintu. Sukarno beberapa kali datang ke rumah ini bahkan belakangan ia juga meminta kepada Drg Oei untuk menjadikan rumah itu tempat Bung Karno bertemu dengan putra-putrinya walaupun hanya sesaat pada waktu gigi sang ayah dirawat. Drg Oei tidak menyebutkan siapa saja di antara anak Sukarno yang berkunjung ke sana. Bulan Maret 1968, Drg Oei pindah menetap di negeri Belanda. Sebelumnya berangkat ia sudah siap untuk memberi cor emas pada gigi Sukarno, namun urung terlaksana karena pengawasan terhadap Sukarno semakin diperketat. Dalam perawatan itu Drg Oei membantu dengan ikhlas, ia sekali tidak dibayar oleh Sukarno (yang memang tidak punya uang lagi) dan juga tidak oleh pemerintah.


Sejak awal 1968 Bung Karno berada dalam "karantina politik" dan tinggal di pavilyun Istana Bogor, kemudian dipindahkan ke peristirahatan "Hing Puri Bima Sakti" di Batutulis Bogor. Sementara itu tuntutan masyarakat dibuat sedemikian rupa agar semakin keras mendesak Sukarno diadili dengan dalih keterlibatan dalam peristiwa G30S. Persangkaan itu diperkuat kenyataan bahwa Sukarno tidak mau mengutuk PKI yang pimpinannya terlibat dalam percobaan kudeta tersebut.


Rachmawati menemui Soeharto di Cendana meminta agar Bung Karno dipindahkan ke Jakarta. Awal tahun 1969, Sukarno pindah ke Wisma Yaso di Jalan Gatot Subroto (sekarang Museum Satria Mandala). Sementara itu Presiden RI pertama itu terus diperiksa oleh Kopkamtib. Setelah sakit Sukarno makin parah, barulah Soeharto memerintahkan menghentikan interogasi.


Sebelum Prof Mahar Mardjono meninggal, ia sempat menceritakan kepada Dr Kartono Mohammad bahwa obat yang diresepkannya disimpan saja di laci oleh dokter berpangkat tinggi. Dr Kartono Mohammad sedang menulis kasus kesehatan Bung Karno dengan mewawancarai antara lain perawat yang sehari-hari menunggui Bung Karno di Wisma Yaso serta Prof Mahar dan Dr Wu Jie Ping (dokter Cina yang merawat Bung Karno).


Kepada Dr Kartono Mohammad saya tanyakan lewat email:

  1. Apakah Anda mendukung tesis "BK dibunuh secara perlahan-perlahan oleh HMS ".
  2. Pak Mahar mengatakan bahwa resep yang dia berikan sengaja disimpan di laci oleh seorang dokter militer berpangkat tinggi. Apakah dapat disebutkan inisial nama dokter tersebut ? Kalau sang dokter masih hidup tentu dapat diperiksa siapa yang memerintahkannya. Kalau tidak salah, komandan yang menahan BK itu adalah Brigjen (CPM) Nicklany, apakah dia memerintahkan pelarangan pemberian resep obat kepada BK. Apakah Pak Mahar juga menceritakan indikasi kesehatan lainnya ?
  3. Di dalam buku Saelan dilampirkan daftar obat yang biasa digunakan oleh BK. Bagaimana komentar Anda tentang obat-obat tersebut, apakah itu untuk mengobat penyakitnya atau lebih banyak berisi semacam suplement ?
  4. Sebelum 1965 BK (dari buku Saelan) dioperasi di Wina, satu ginjalnya diangkat dan yang satu lagi hanya berfungsi 25 %. Apakah saat terakhir beliau (BK) sudah gagal ginjal dan tidak diobati sama sekali karena foto terakhir memperlihatkan pipinya yang sangat bengkak ?
  5. Bagaimana pula komentar Anda tentang pernyataan Dewi Soekarno bahwa sebelum meninggal BK ngorok selama lebih kurang 10 jam, yang konon katanya itu indikasi orang yang diberi obat tidur atau diinjeksi. Benarkah demikian ?


Jawaban dari Dr Kartono Mohammad: “Saya juga cenderung menduga bahwa Bung Karno "dibiarkan meninggal" tanpa perawatan medis yang seharusnya (Bandingkan dengan perawatan Suharto saat ini)”.


Tanggal 21 Juli 1970 tokoh proklamator itu wafat. Upacara pemakaman dilakukan secara kenegaraan. Tetapi Soeharto masih mengatur lokasi kuburan sang mantan Presiden. Maka dicari alasan bahwa Sukarno semasa hidupnya sangat mencintai ibunya, maka selayaknya ia disemayamkan di samping makam ibunya di Blitar. Padahal dalam surat wasiatnya beliau ingin dimakamkan di bumi parahiyangan (di Batu Tulis atau di kebun raya Bogor). Terdapat protes dari istri-istri dan putra-putri Sukarno, tetapi hal ini tidak diacuhkan oleh Soeharto. Jadi sampai soal liang kubur Presiden Sukarno masih diatur oleh Jenderal Soeharto.


Soeharto tidak membawa Sukarno ke pengadilan dengan strategi ganda.


Pertama, Soeharto menjalankan muslihat "ngluruk tanpa bala", berperang tanpa tentara. Ia berhasil menyingkirkan lawan politik terbesarnya tanpa membuang banyak tenaga. Rakyat dibiarkan menghujat dan menuntut Sukarno ke pengadilan. Sebab itu pemeriksaan oleh Kopkamtib terus dilaksanakan untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat tadi. Tetapi pemeriksaan itu lebih bersifat teror mental yang akan melelahkan Bung Karno yang sudah sakit-sakitan. Kalau diadili belum tentu terbukti kesalahan Sukarno, tetapi dengan tanpa pengadilan, rakyat sudah termakan opini bahwa Presiden RI itu terlibat dalam percobaan kudeta G30S.


Kedua, Soeharto dapat nama baik karena ia mengamalkan dan mensosialisasikan "mikul dhuwur mendhem jero". Maksudnya orang tua harus dihormati, tentunya dia berharap agar hal serupa diperlakukan masyarakat terhadap dia nanti.


Pada akhir pemerintahan Sukarno memang banyak orang yang mati karena kesulitan ekonomi, tetapi tidak sebanyak rakyat yang menderita kekerasan oleh militer terutama selama 1965-1998. Ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang telah jadi korban semasa Soeharto memerintah. Dimulai dari pembantaian terhadap PKI, penahanan tanpa proses pengadilan di pulau Buru, pembunuhan misterius (petrus), kasus Aceh, Irian Jaya , Timor Timur, Lampung, Tanjung Priok,) dan lain-lain.


Dari sudut ekonomi, Soeharto secara simultan melakukan praktek dari jumlah korban manusia dan totalitas uang yang "bocor", kesalahan Soeharto berlipat ganda dari Sukarno. Memang diakui bahwa kedua tokoh ini telah menghasilkan sesuatu yang berguna bagi bangsa dan negara sehingga hal itu dapat meringankan kesalahannya.


Pada saat ini kita bertekad untuk menegakkan supremasi hukum tanpa pandang bulu. Rakyat menginginkan Soeharto diadili dengan tujuan penegakan hukum (tidak ada orang kebal hukum) dan penegakan hukum sebaiknya seyogianya dimulai dari atas sekali (Presiden). Tujuannya agar sejarah yang penuh darah pada masa Orde Baru tidak terulang lagi. Karena ia masih sakit tentu dengan pertimbangan kemanusiaan, boleh saja sementara kasusnya tidak dilanjutkan, walaupun sebetulnya secara teknis masih ada cara untuk mengadilinya seperti yang dikemukakan oleh Profesor Ahmad Ali pakar hukum dari Unhas. Kalau ia sembuh --Tuhan Maha Menentukan-- HMS dapat diadili kembali.


Sampai akhir hayatnya Sukarno tetap diatur oleh Soeharto. Soeharto lebih beruntung, dimanjakan oleh pers dan beberapa artis serta pak Ustad yang dapat membacakan doa sambil menangis. Bila ia meninggal, tentu ia akan dimakamkan di samping istrinya di Astana Giribangun, Solo. Saya sependapat dalam hal ini dengan AM Fatwa yang mengusulkan agar Soeharto membuat surat wasiat yang menghibahkan sebagian terbesar hartanya bagi negara dan bagi keperluan sosial.


Kutipan :


"Kalau pemerintah tidak akan membubarkan HMI, maka janganlah kalian berteriak-teriak menuntut pembubaran HMI. Lebih baik kalian bubarkan sendiri. Dan kalau kalian tak mampu melakukan itu, lebih baik kalian jangan pakai celana lagi, tapi tukar saja dengan sarung!" (DN Aidit)


Bung Karno meninggalkan Istana sebelum 16 Agustus 1967, keluar hanya memakai celana piyama warna krem dan kaos oblong cap cabe. Baju piyamanya disampirkan di pundak, memakai sandal cap Bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas koran yang digulung agak besar, isinya Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. (Sogol Djauhari Abdul Muchid, anggota DKP)


"De Belandas hebben mij nog goed behandelt, maar, bangsa sendiri begitu kasar dan kejam. Is dit als dank dat ik gekregen heb, voor wat ik gedaan heb voor mijn volk en vanderland. Ik kan dit alles maar niet begrijpen. Apakah ini bentuk terima kasih yang kudapat atas apa yang telah kulakukan untuk rakyat dan Tanah Air? Aku tidak bisa mengerti semua ini. Ik wou maar dat ik de schot krijgt. Aku ingin agar aku ditembak saja." (Bung Karno).


dan sekarang, Soeharto dianggap Pahlawan


3 tahun yang lalu, Setelah Soeharto masuk RSPP, lingkungan paling dalam pemerintahan SBY-JK sudah mempersiapkan teks belasungkawa itu. Bisa dibayangkan betapa rumitnya kalkulasi yang dilakukan pemerintahan SBY-JK, termasuk mempertimbangkan laporan intelijen– mengenai dinamika politik dan reaksi masyarakat.

ada isu kalangan mahasiswa akan melancarkan demonstrasi besar-besaran untuk mendesak pemerintah mengadili Soeharto. Di sisi lain para kroni Soeharto juga aktif melakukan berbagai manuver, termasuk mengkooptasi sejumlah kalangan untuk merekayasa keadaan, agar segenap unsur bangsa ini memaafkan dosa-dosa politik Soeharto. Pada saat bersamaan persiapan pasukan keamanan juga meningkat sangat intens, dengan indikator disiagakannya sejumlah panser di titik-titik strategis.
kini kita menjadi maklum. Pemerintahan SBY telah melakukan siasat yang berani dan bahkan nekad, untuk merehablitasi reputasi Soeharto, dan sekaligus menjejalkan ke kepala rakyat Indonesia bahwa Soeharto adalah seorang pahlawan. Siasat ini adalah gabungan dari cara kerja propaganda dan trik kehumasan. Sebuah indoktrinasi yang tak kentara atau “kudeta” terhadap akal sehat dan suara nurani masyarakat. Ini “brain washing” atau cuci otak, dimana obyeknya adalah rakyat, dengan memanfaatkan kekuatan media massa.

Nah, para pembaca yang budiman, terserah pada anda semua. Apakah anda sendiri menganggap Soeharto sebagai pahlawan bangsa ataukah seorang tiran yang tega mengorbankan rakyat demi memperkaya diri dan kelompoknya, serta menghilangkan nyawa banyak orang untuk kelanggengan kekuasaannya ?

Meirza Efrianto

Ads

Daftar Isi